-->

DENGAN INTERNET, GURU MENGAJAR TIDAK HARUS TATAP MUKA ?

DENGAN INTERNET, GURU MENGAJAR TIDAK HARUS TATAP MUKA ? Oleh : Budiyono Jika kita cermati keberadaan warung internet ( warnet ), akhir-akhir ini begitu marak dikunjungi pelajar dari tingkat SD hingga SMA. Mereka datang untuk mencari data sebagai tugas dari gurunya, ada yang belajar / praktik program internet atau hanya sekedar iseng, main-main saja. Mereka begitu antusias dengan kesibukan barunya itu. Melihat fenomena tersebut, seorang teman guru berkata kepada saya; dengan internet nantinya guru mengajar tidak harus tatap muka. Saya sempat mengerutkan dahi sejenak, benarkah ucapan teman itu . Dengan internet, guru mengajar tidak harus tatap muka ? Memasuki era millenium ketiga ini, begitu pesat kita rasakan perkembangan ilmu dan teknologi. Era ini ditandai oleh perkembangan di bidang teknologi informasi, sehingga orang menyebutnya sebagai era informasi. Peran media massa menjadi penting bagi kebanyakan kehidupan manusia. Perubahan di bidang budaya pun terjadi begitu cepat. Produk sekolah ( baca pendidikan ), seolah tidak berdaya menghadapi perubahan budaya tersebut. Pendidikan dan manusia umumnya tidak mampu lagi meramalkan apa yang akan terjadi ( unpredictability ). Internet adalah salah satu produk teknologi mutakhir yang berbasis komputer. Perangkat keras ini telah banyak membantu pekerjaan manusia dalam berbagai pekerjaan, termasuk dalam bidang pendidikan. Guru dan peserta didik dengan mudah mengakses informasi pendidikan. Tidak hanya itu, guru pun dapat mengupload materi pelajaran sebagai materi pembelajaran kepada peserta didiknya. Atau sebaliknya, guru dapat meng-upload modul atau materi pelajaran untuk pembelajaran bagi siswanya. Praktik guru yang demikianlah yang mungkin disimpulkan seorang teman tadi, bahwa guru mengajar tidak harus bertatap muka. Tetapi pertanyaan yang muncul selanjudnya, apakah pratik guru yang demikian sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran? Internet di negara-negara maju sudah bukan hal yang baru lagi. Tetapi di negar perkembang seperti di Indonesia, internet masih dianggap hal yang baru, khususnya di dalam dunia pendidikan kita. Internet mulai dimasukkan ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ), dan mulai diajarkan di sekolah-sekolah dari SD – SMA sejak dua tahun yang lalu dalam mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi ( TIK ). Walaupun kenyataannya belum semua sekolah memiliki komputer dan jaringan telepon. Sehingga dalam praktik mengajar guru hanya memberikan teorinya saja. Menurut Mendiiknas, pemerintah baru bisa membantu paket internet ini pada l0.000 sekolah di tahun 2007 ini, dan untuk tahun 2008 akan memberikan pelayanan internet sebanyak 20.000 sekolah di seluruh tanah air. Bantuan paket internet ini akan diberikan ke semua sekolah dari SD – SMA secara bertahap diseluruh tanah air. Akibat dimasukkanya matapelajaran TIK ke dalam kurikulum KTSP ini, maka jasa internet, warung internet ( warnet ) mulai ramai di kunjungi pelajar. Guru TIK sesekali memberikan tugas kepada peserta didiknya untuk mencari materi pelajaran dari internet. Banyak website yang menyediakan situs pendidikan dan atau materi pelajaran, seperti Belajar Gratis. Com, Pendidikan. Net, dan lain lain, yang tergabung dalam jaringan pendidikan nasional ( jardiknas ). Di sejumlah daerah, tampak pelajar begitu antusias dan girangnya mengujungi warnet. Tugas itu tidak dirasa sebagai beban. Pencarian materi di internet serasa sebagai permainan yang menyenangkan. Jika suasana praktik pembelajaran semacam ini, maka satu aspek pembelajaran tercapai, yaitu kesenangan. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran adalah kesenangan. Belajar sambil bermain ( learning by doing ) sangat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran. Tetapi permasalahannya sekarang adalah dapatkah peran guru dapat digantikan oleh internet? Proses pemebelajaran yang baik menurut Utomo Dananjaya ( 2003 : 92 ) melalui proses pengalaman siswa sendiri. Konsep pembelajaran macam ini sesuai dengan konsep andragogy. Pengalaman itu diungkapkan kembali, didiskusikan atau dianalisa, kemudian mereka mengambil kesimpulan dan selanjutnya berdaur dalam rangkaian ulang, diterapkan atau dilakukan kembali. Daur belajar ini mempunyai ciri-ciri : • Melahirkan rasa atau suasana yang menyenangkan. Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. • Mengundang peserta untuk aktif melakukan sesuatu. Peserta berpartisipasi untuk melakukan dan menghayati pengalamannya ( partisipatory ). • Peserta mempunyai pengalaman, dimana fisik dan emosi terlihat dalam proses “permainan”. • Menimbulkan kesadaran tentang potensi dirinya, mengendalikan diri, timbul hasrat untuk berprestasi, memahami orang lain ( melalui paham dirinya sendiri ) dan kesedian berinteraksi. Sejalan dengan konsep pembelajaran adragogy yang memposisikan guru sebagai pasilitator, adalah gaya pembelajaran progresif yang dikembangkan oleh John Dewey. Gaya pembelajaran ini dapat mengoreksi kesalahan dan kekurangan gaya pembelajaran tradisional. Sehingga gaya pembelajaran progressif ini dirasakan sangat mempengaruhi keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran. Bagaimana pembelajaran berdasarkan internet ? Dave Meier ( 2003 : 248 ) menyatakan, bahwa pembelajaran berdasarkan teknologi pastilah meningkat pada beberapa tahun mendatang, semata-mata karena teknologi itu ada. Namun pertanyaan yang muncul adalah, apakah penggunaan teknologi yang lebih luas dalam pendidikan menghasilkan pembelajaran yang lebih baik untuk semua orang ? Sebagian orang merasa bahwa yang kita butuhkan bukan hanya perubahan dalam teknologi., melainkan perubahan dalam seluruh pendekatan kita pada pembelajaran. Selanjutnya Dave Meier mengutip beberapa pakar pendidikan yang ‘mengecam’ pandangan orang yang mengatakan bahwa komputer dapat mengajarkan dasar lebih baik daripada metode tradisional. Pendapat itu disinyalir bermotivasi politik, dan bisnis. Larry Cuban menyatakan bahwa publisitas yang menggemparkan mengenai internet telah mengaburkan isu yang lebih mendalam dan penting dalam pembelajaran, yaitu tentang cara kita mengajar anak-anak untuk mendapatkan ketrampilan dasar berpikir secara mandiri. Kemudian Todd Oppenheirmer menyatakan, bahwa sekolah bukan semata-mata menyangkut informasi, melainkan mengajak anak-anak memikirkan tentang informasi. Sekolah mengajarkan pemahaman, pengetahuan, dan kearifan. Dari beberapa pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa yang dibutuhkan anak-anak adalah mengembangkan kecerdasan, bukan karena kebanjiran informasi elektronik yang sepotong-potong, melainkan pengalaman seluruh tubuh dalam ketrampilan menyaring informasi menjadi pengetahuan yang saling berkait. Pengetahuan adalah sesuatu yang secara aktif diciptakan pembelajaran dari informasi dan pengalaman yang diperolehnya. Pengetahuan bukan penyerapan pasif atas fakta-fakta melalui medium informasi, baik manusia maupun elektronik. Kita perlu meyakini yang menjadi kesimpulan Dave Meire bahwa, jika komputer dan internet dapat membantu dalam pencarian ini, itu merupakan sumbangan besar. Namun jika perangkat itu mencoba menjadi penggati bagi pencarian ini, itu pasti tidak berhasil mendatangkan nilai positif bagi pendidikan, bahkan sebaliknya. Teknologi bisa menjadi pelayan yang hebat, namun juga menyajikan yang mengerikan. Teknologi telah membuat kita kaya. Namun, belum jelas apakah telah membuat kita bijaksana. Walaupun demikian, masyarakat kita tidak dapat bekerja tanpa teknologi, khususnya komputer. Komputer dan internet sudah hadir dan memberi pengaruh besar pada kebudayaan manusia dalam berbagai segi kehidupan. Namun tidak dapat menguasai seluruh bentuk kecerdasan social, emosional, spiritual, dan ekologis. Secanggih apapun teknologi, komputer/internet tidak akan mampu menggantikan peran guru dalam pembelajaran. Komputer/internet hanyalah salah satu medea pembelajaran yang menunjang keberhasilan pembelajaran.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "DENGAN INTERNET, GURU MENGAJAR TIDAK HARUS TATAP MUKA ?"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel