-->

FIKSI

PRAHARA GEMPA Cerpen : Budiyono Dion Aku merasa prihatin dan sedih sekali pada anak bangsa ini. Ketaatan pada Tuhannya sudah begitu tipis. Mereka kebanyakan sudah berani menuhankan nafsunya sendiri. Moral, etika, akhlak mereka sebagai bangsa yang beragama dan berketuhanan Yang Maha Esa, semakin lepas dari pakaian hidupnya. Semakin hari jalan hidupnya semakin jauh dari ajaran. Mereka sudah tidak takut dan tidak taat lagi pada Tuhannya. Boleh jadi, mereka lebih takut pada Hantu daripada takut pada Tuhannya. Aku merenung. Apakah ini semua sudah menjadi kodratnya manusia. Manusia tercipta ditengah-tengah persimpangan jalan. Di sebelah kiri jalannya setan. Di sebelah kanan jalannya malaikat. Setan tercipta oleh Allah SWT senantiasa membangkang terhadap perintahNYa. Setan selalu mengajak manusia ke jalan kesesatan, jauh dari ketaatan dan kepatuhan kepadaNYA. Dan malaikat tercipta oleh Allah SWT senantiasa taat dan patuh pada perintahNYA. Sebagai pasukan Tuhan, Malaikat senantiasa bersemayam dan menjaga hati nurani manusia yang beriman dan bertaqwa kepadaNya. Malaikat senantiasa mengajak manusia ke jalan yang benar, jalan yang ditunjukkan Allah SWT. Karena Malaikat tercipta untuk taat dan patuh kepadaNYA. Aku bersedih dan prihatin dengan kebanyakkan anak bangsa ini. Kekerasan, kejahatan menjadi pemandangan harian di negeri ini. Mereka hidup tanpa kendali. Semua seolah ditentukan atas kemauannya sendiri. Mereka lupa pada Tuhannya yang menjadi sumber dari segala sumber kehidupan. Lupa pada rasa pengabdiannya pada tuhannya. Tuhan hendak memberi sedikit cobaan bagi umatnya, dengan gempa bumi, dan bencana alam lainnya. Pagi itu gempa bumi dicobakan pada masyarakat Bantul DIY, dan Klaten Jateng, dan sekitarnya.. Hari itu aku hanya tersenyum kecil, ketika aku melihat masyarakat Bantul dan Klaten menangis. Mereka menangis hanya karena rumahnya roboh, hancur diterjang gempa bumi berkekuatan 5,9 SR. Sebagian mereka kehilangan anggota keluarga, sanak saudara, tetangga, sahabat dan handai taulan. Pagi itu pukul 05.55 WIB hari Sabtu wage 27 Mei 2006, bumi sedikit bergoncang karena pergeseran lempengan kulit bumi yang patah. Pergeseran karena proses alamiah, sesuai sunatullah, kehendak Tuhan Sang pemilik alam semesta. Sedikit goncangan bumi itu telah membuat masyarakat Bantul dan Klaten panik dan kebingungan. Mereka ribut lintang pukang menyelamatkan diri berhamburan keluar rumah mencari tempat yang aman dari reruntuhan rumahnya yang berantakan diobrak-abrik gempa. Mereka tunggang langgang, dan menjerit-jerit histeris. Padahal goncangan itu tidak seberapa dibandingkan dengan goncangan yang akan terjadi kelak menjelang hari kiamat. Oh manusia… tidak sumbut, tidak sesuai dengan keangkuhan dan kesombongannya. Baru gempa yang tidak seberapa getarannya saja, takutnya bukan kepalang. Takut ? Ya takut. Manusia selalu saja dihinggapi rasa takut. Takut kehilangan hartanya. Takut kehilangan pangkatnya. Takut bangkrut, takut jatuh miskin, takut menderita, takut… takut… dan takut. Benda-benda kedunian itu telah menjadikan mereka takut. O….manusia….Betapa besar cintanya mereka pada hal-hal yang bersifat keduniaan. Luar…biasa….cintanya. Hingga mereka kehilangan daripadanya, menjadikan hantu yang terlalu menakutkan. Mereka kebanyakan lebih takut kehilangan harta miliknya daripada dengan Tuhannya. Banyak orang yang tidak takut melanggar perintah Tuhannya. Mereka lupa pada hakiki hidupnya. Lupa ? Ya lupa. Manusia kebanyakan lupa bahwa hakiki hidupnya hanyalah sebuah pengabdian. Bahwasanya hakiki hidup manusia hanyalah penghambaan kepada Tuhan semesta alam. Seperti dalam firmaNYA: Tuhan tidak menciptakan Jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepadaNYA. Lupa bahwa hidup hanyalah sebuah ujian dan cobaan. Manusia lupa bahwa hidupnya akan diuji oleh Tuhannya dengan : kemiskinan, musibah, pekerjaan, harta, kegagalan. Setiap cobaan dan ujian itu terdapat potensi kesedihan. Dan kealpaan manusia banyak disebabkan karena kecintaannya pada harta keduniaan yang berlebihan. Mereka kebanyakan lupa bahwa cinta kebendaan, keduniaan yang berlebihan bisa menjadikan dirinya sombong, seperti halnya Korun dan Firaun. Sombong ? Ya sombong. Sebenarnya manusia tidak sepantasnya berlaku sombong. Sifat sombong hanyalah milik Allah, milik Tuhan penguasa alam semesta. “Apa yang kau sombongkan hai manusia ?!” Seruku pada suatu waktu pada orang-orang yang berlaku sombong. “ Pada hal ; harta, pangkat, dan ilmu yang kau miliki, belumlah seberapa jika dibandingkan dengan kekayaan, kekuasaan, dan kepandaian Allah.” Lanjut seruanku atas nama Allah pada mereka yang berlaku adigang adigung adiguna dengan kekayaan, kekuasaan, dan kepandaiannya. Mereka lupa kalau harta, kekuasaan dan anak, hanyalah titipan Allah semata. Jika Allah menghendaki, tak seorang pun dapat menahan atau menolaknya. Semua ada ditangan kekuasaan Allah. Harta, ilmu, pangkat, bagi manusia bukan untuk dibangga-banggakan, tetapi untuk sarana ibadah, untuk bekal ibadah kepada Tuhan semata alam. Aku hanya tersenyum kecil ketika masyarakat Bantul dan Klaten menangis tersedu. Menangis tersedu hanya karena rumah dan hartanya hancur. Menangis tersedu hanya karena kehilangan anggota keluarga, sanak saudara dan handai taulan. Dalam renunganku, aku melihat bayangan Malaikat. Malaikat yang senantiasa menjaga nurani manusia dan hendak mengabarkan kepada mereka yang terkena bencana. “Hai warga Bantul dan Klaten. Jika kau benar-benar orang yang beriman, janganlah terlalu bersedih dengan prahara gempa itu.” Bisikku bersama Kyai Sepuh yang sedang berkotbah di depan majlis taklim. “Ambillah hikmah dari segala bencana yang menimpa dirimu. Bersabarlah setiap menghadapi cobaan. Bukankah Allah menguji manusia; dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan : innaalillaahi wa innaa illaihi raaji’uun. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. Aku Malaikat. Ketahuilah hai manusia. Akulah yang pernah melaksanakan tugas dari peringatan Allah kepada sekalian umat manusia lewat para nabi dan rasul. Sebab setiap nabi dan rasul telah dipercaya Allah untuk memberi peringatan kepada umat manusia. Setiap zaman, nabi dan rasul menghadapi permasalahan manusia yang sombong, yang tidak taat kepadaNYA, dan membawa kerusakkan di muka bumi ini. Aku malaikat. Aku di sini sengaja akan mengisahkan kembali kepada kalian tentang beberapa kisah nabi dan rasul dengan kaumnya. Kisah nabi Nuh dengan perahunya. Kaum Nuh yang kafir, yang tidak peduli akan peringatan Allah, Tuhan sekalian umat. Ketika azab Tuhan akan ditimpakan kepadanya, nabi Nuh diperintahkan Tuhannya untuk membuat kapal. Nuh yang taat segera membuat kapal. Tetapi kaum Nuh yang kafir malah menertawakan apa yang diperbuat Nuh. Dengan mengatakan, apakah mungkin musim kemarau akan datang banjir. Kaum kafir lupa kalau segala sesuatu itu sudah dikehendaki Allah, sesuatu yang tidak mungkin bagi manusia, menjadi mungkin bagi Allah. Setelah kapal Nuh jadi, azab Allah datang. Banjir besar pun melanda seluruh negeri. Orang-orang yang beriman naik kapal Nuh. Orang-orang kafir dan zalim tidak mau naik kapal Nuh, kemudian mereka ditenggelamkan dan dibinasakan Allah dengan air bah, termasuk anaknya Nuh yang durhaka dan kafir. Kaum nabi Luth, a.s. yang bejat moralnya, karena berlaku homoseks, diazab Allah dengan dijadikan negeri kaum Luth dibalikkan buminya, dan mereka dihujani dengan batu dari arah tanah yang dibakar dengan bertubi-tubi di suatu subuh. Kaum nabi Musa,a.s. yang tidak taat pada firman Allah, dan lebih taat kepada Fir’aun yang mengaku dirinya Tuhan. Padahal perintah Fir’aun benar-benar sesat. Fir’aun dan pengikutnya berusaha membunuh Musa dan pengikutnya yang beriman. Musa dan pengikutnya dikejar-kejar hingga lari menyeberangi laut Merah. Dengan pertolongan Allah, Musa memukulkan tongkat mukjijatnya ke laut hingga air laut terbelah dan tongkat itu menjadi jembatan yang dijadikan jalan bagi pengikutnya menyeberangi laut. Kekuasaan Allah dipertunjukkan pada umatnya. Ketika Musa dan pengikutnya sampai di pantai, tiba-tiba air laut itu kembali memenuhi laut hingga menenggelamkan Fir’aun dan pengikutnya yang mengejar di belakangnya. Ketika nabi Muhammad memasuki kota Thaif, beliau dilempari batu hingga babak belur dan diusir oleh masyarakat setempat. Aku Malaikat. Aku melihat kejadian itu, aku tidak berterima. Kemudian aku meminta ijin pada nabi Muhammad untuk membalaskan perbuatan orang-orang kafir yang keji dan tidak manusiawi itu. Akan aku angkatkan gunung untuk menumpas mereka. Tetapi dengan sabar nabi mencegahku. “ Jangan lakukan itu. Mereka berbuat demikian itu karena belum tahu. Dan aku masih mengharapkan generasinya. “ Kata nabi. Aku Malaikat. Aku heran kepada manusia. Sudah diberi peringatan berkali-kali masih tetap saja tidak mau memperbaiki diri. Tsunami Aceh, gempa di Papua, banjir dan tanah longsor di Jember, tanah longsor di Banjarnegara, banjir bandang di Sulsel, banjir Lumpur Lapindo di Sidoharjo Jatim, belum juga menyadarkan manusia dan ingat kepada Allah Yang Maha Kuasa. Aku Malaikat. Aku agak sedikit jengkel dengan manusia. Hati mereka kebanyakan terbungkus dengan nafsunya. Nafsu serakah yang selalu mengejar harta kebendaan saja. Mereka lupa bahwa harta benda hanya sarana ibadah kepada Yang Kuasa. Mereka kebanyakan telah terpengaruh kapitalisme, materialisme. Hati mereka kebanyakan telah mati, hingga aku tak mampu menembusnya, tak mampu membisikkan firman-firman Allah kepadanya. Atau mereka mendengar, tapi tak mempedulikan bisikanku. Mereka kebanyakan malah peduli pada bisikan setan. Pada hal, setan itu benar-benar menjadi musuh mereka yang nyata. Aku heran pada manusia di negeri ini. Katanya berpancasila, berketuhanan kepada Yang Mahaesa, tetapi perilakunya banyak yang mencerminkan perilaku sekuler. Yang taat pada agama dan kebenaran, malah ditertawakan dan dipinggirkan. Tuntunan menjadi tontonan, dan tontonan menjadi tuntunan. Mereka kebanyakan membalik-balikan dunia kebenaran. Aku heran pada bangsa Ini. Katanya berpancasila yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab, tetapi kasih sayang pada sesama telah pudar. Egonya yang menonjol. Ego pribadi, ego golongan, dan ego partai. Kepedulian sesama telah hilang. Aku-aku, engkau-engkau. Wah… Mereka sibuk mengurusi urusannya sendiri- sendiri, urusan golongannya sendiri, urusan partainya sendiri. Jadinya urusan rakyat banyak terabai. Aku heran pada negeri ini. Katanya berpancasila yang berpersatuan, tapi rasa kebersamaan sebagai nation semakin luntur. Rasa kebangsaan dan nasionalismenya semakin pudar. Bibit diskriminasi sering mengemuka. Rasa bangga sebagai satu nation telah kabur. Aku heran kepada negeri ini. Katanya berpancasila yang berkerakyatan, dengan hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan, perwakilan, tapi sering terjadi pemaksaan kehendak. Siapa kuat, yang menang. Aku heran pada negeri ini. Katanya berpancasila yang berkeadilan social , tapi banyak yang memperkaya diri sendiri. Keadilan jadi barang mahal di negeri ini. Tidak aneh kalau yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Semakin hari semakin bertambah pengangguran dan kemiskinan. Kekeluargaan dan sikap gotong royong semakin lenyap dari kehidupannya.” Bayangan Malaikat itu terbang kembali pada galibnya, setelah mengiang di dalam sebagian hati nurani manusia. *** Cawas, 24 Juni 2008

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "FIKSI"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel