-->

HUJAN EMAS DI NEGERI ORANG HUJAN BATU MBAH MARIDJAN MENINGGAL DI RUMAHNYA SENDIRI

HUJAN EMAS DI NEGERI ORANG HUJAN BATU MBAH MARIDJAN MENINGGAL DI RUMAHNYA SENDIRI Oleh : Diyono Adhi Budiyono Meninggalkannya mbah Marijan akibat meletusnya Gunung Merapi, mengingatkan saya pada sebuah peribahasa yang berbunyi: Hujan emas di negeri orang hujan batu di negeri sendiri. Peribahasa itu kurang lebih bermakna: Sebaik-baik hidup di negeri orang, masih lebih baik hidup di negeri sendiri. Walaupun dalam keadaan yang semiskin apapun, itu lebih baik dan bahagia daripada keadaan yang melimpah dan mewah tetapi di tempat orang lain. Seperti halnya bila kita hidup senang dan mewah di rumah orang lain, tetapi semua itu tetap bukanlah rumah milik kita. Sebaliknya, sejelek-jelek rumah kita, tetapi itu rumah milik kita sendiri, tetap memberi kenyamanan hidup. Mengapa mBah Maridjan tidak mau dievakuasi dan rela meninggal terkena hujan batu panas. Beliau merasa senang dan bahagia ngrungkepi, mencintai tanah kelahirannya, dan rela mati dengan keadaan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai juru kunci gunung Merapi. Berita meninggalnya mBah Marijan, banyak mengundang perbincangan dan pertanyaan. Mbah Maridjan “Roso Roso” telah meninggal dunia akibat hujan abu, pasir, dan batu volkanik panas muntahan Merapi yang meletus pada hari selasa, 26 Oktober 2010 pukul 17.02 beberapa hari yang lalu. Jasad mBah Maridjan ditemukan Tim Penyelamat keesokan harinya Rabu, ( 27/10/2010 ) sekitar pukul 06, setelah Tim Penyelamat bekerja keras sejak dini hari. Jasad Sang Juru Kunci gunung Merapi itu ditemukan dalam kondisi bersujud di dalam kamar rumahnya di desa Kinaharjo kecamatan Cangkringan, Sleman DIY, yang berjarak sekitar 6 kilometer dari puncak Merapi. Beliau masih mengenakan baju batik, kopiah warna putih serta sarung. Dari saksi mata, ketika sirine tanda bahaya gunung Merapi berbunyi, waktunya shalat magrib. Diduga mBah Marijan masih sedang dalam keadaan shalat. Mbah Maridjan lahir tahun 1927 di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia mempunyai seorang istri bernama Ponirah (73), 10 orang anak, lima di antaranya telah meninggal, 11 cucu, dan 6 orang cicit. Anak-anak Mbah Maridjan yang masih hidup bernama Panut Utomo (50), Sutrisno (45), Lestari (40), Sulastri (36), dan Widodo (30). Sebagian dari anaknya ada yang tinggal di wilayah Yogyakarta dan ada pula yang tinggal di Jakarta. Di antara anak-anak Mbah Maridjan, juga ada yang siap mewarisi tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi dan kini telah menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta. Pada tahun 1970 Mbah Maridjan diangkat menjadi abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta dan oleh Sultan Hamengku Buwono IX diberi nama baru, yaitu Mas Penewu Suraksohargo1. Sebagai abdi dalem, Mbah Maridjan diberi amanat Sri Sultan dengan mengemban jabatan sebagai wakil juru kunci dengan pangkat Mantri Juru Kunci, mendampingi ayahnya yang menjabat sebagai juru kunci Gunung Merapi. Pengalamannya sebagai wakil juru kunci, Mbah Maridjan sudah sering mewakili ayahnya untuk memimpin upacara ritual labuhan di puncak Gunung Merapi. Setelah ayahnya wafat, pada tanggal 3 Maret 1982, Mbah Maridjan dinobatkan resmi menjadi juru kunci Gunung Merapi. Dalan menjalankan tugasnya sebagai abdi dalem dengan jabatan juru kunci gunung Merapi, Mbah Maridjan menunjukkan nilai-nilai kesetiaan tinggi. Meskipun Gunung Merapi memuntahkan lava pijar dan awan panas yang membahayakan manusia, dia bersikukuh tidak mau mengungsi, seperti yang terjadi letusan Merapi pada tahun 2006. Pada waktu kegiatan Merapi dalam level awas, pada tahun 2006 masyarakat lereng Merapi, diserukan bupati pemerintah daerah sampai dengan perintah gubernur DIY yang sekaligus Raja Keraton Yogyakarta, Hamengku Buana X, untuk mengungsi, tidak dihiraukannya. Dia punya keyakinan bahwa Merapi belum akan meletus, dan tidak membahayakan warga di sekeliling Merapi. Kebenaran dan kemenangan berpihak pada mBah Maridjan, warga selamat dari ancaman letusan gunung Merapi. Setelah kondisi Merapi kembali normal, nama mBah Maridjan semakin populer, hingga dia menjadi bintang iklan sebuah minuman suplemen. mBah Maridjan benar-benar roso roso. Barangkali meletusnya Merapi 26 Oktober 2010 sudah berbarengan dengan takdirnya mBah Maridjan, bahwa usianya harus diakhiri dengan panasnya abu, pasir dan batu vulkanik dari muntahan Merapi. Walaupun sekitar seminggu sebelumnya juga sudah diperingatkan oleh pemerintah lewat penjaga pos pengawasan gunung Merapi untuk mengungsi. Tetapi mBah Mariidjan tetap bersikukuh tidak mau dievakuasi. Penjelasan dari orang dekat mBah Maridjan, bahwa sikap ketidakmauan mBah Maridjan kali ini berbeda dengan sikapnya pada waktu letusan Merapi tahun 2006. Dulu ketidakmauan mBah Maridjan dinyatakan dengan pernyataan, dan melarang keluarganya untuk dievakuasi. Tetapi kali ini ketidakmauan untuk dievakuasi tidak dinyatakan dengan kata-kata Dia hanya berlaku diam ketika dibujuk para tim penyelamat untuk mengungsi, dan membiarkan keluarganya dibawa pergi oleh para tim penyelamat untuk mengungsi. Dari sikap perjalanan hidup mBah Maridjan tersebut kita dapat mengambil beberapa pelajaran, pertama: Sikapnya yang terkesan mbalelo itu semata-mata sebagai wujud tanggung jawabnya terhadap tugas yang diamanatkan oleh Ngarsa Dalem kepadanya, sebagai abdi dalem dengan pangkat juru kunci gunung Merapi. Ketaatan dan tanggungjawabnya dalam menjalankan tugas sebagai abdi dalem, dapat menjadi contoh bagi para abdi negara/masyarakat dan eleman pemerintahan dan masyarakat keseluruhannya untuk menjalankan amanat rakyat, untuk menciptakan kemakmuran dan keadilan bagi masyarakat di negeri ini. Menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme. Kedua,ketaatan dan penyerahan diri kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pencipta dan Penguasa Tunggal alam semesta ini patut pula menjadi teladan bagi kita semua. Posisi meninggalnya mBah Maridjan dalam kondis sujud, menandakan ketaatannya kepada Sang Pencipta. Bahwanya dia sebagai abdi Tuhan, hamba Allah, sudah seharusnya ia selalu taat beribadah kepadaNya. Alam seisinya milik Allah SWT,termasuk jiwa dan raganya. Semua milik Allah. Semua datang dari Allah, dan semua akan kembali kepada Allah. Maka tidak sepantasnya manusia bersikap sombong. Selayaknya manusia berjalan dengan kerendahan hati dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi. mBah Maridjan kini telah menyerahkan tugas dan tanggungjawabnya sebagai juru kunci gunung Merapi di tengah tengah hujan batu vulkanik panas dengan keteguhan hati. Barangkali mBah Maridjan masih berharap hujan emas di negeri ini bagi anak cucu dan generasi bangsa yang berkarakter dan bermartabat seperti yang diteladankan di masa mendatang. Semoga mBah. Selamat jalan mBah Maridjan, semoga Allah SWT mengampuni segala dosa-dosamu, dan menerima segala amal kebajikanmu. Amien. *** Cawas, 1 November 2010

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "HUJAN EMAS DI NEGERI ORANG HUJAN BATU MBAH MARIDJAN MENINGGAL DI RUMAHNYA SENDIRI"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel